I. I. KONSEP MEDIS
A. Pengertian
Apendisitis adalah suatu proses obstruksi yang disebabkan oleh benda asing batu feses kemudian terjadi proses infeksi dan disusul oleh peradangan dari apendiks verivormis (fransisca, 2019)
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing. Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. (Asnawi, 2019)
Apendisitis merupakan proses peradangan akut maupun kronis yang terjadi pada apendiks vemiformis oleh karena adanya sumbatan yang terjadi pada lumen apendiks.Apendisitis merupakan penyakit yang menjadi perhatian oleh karena angka kejadian apendisitis tinggi di setiap negara. Resiko perkembangan apendisitis bisa seumur hidup sehingga memerlukan tindakan pembedahan. (Elma, 2019)
Jadi dari beberapa penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa apendisitis adalah kasus bedah abdomen yang disebabkan oleh peradangan pada apendiks verivormis.
B. Etiologi
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya radang apendisitis menurut (Asnawi, 2019) diantaranya:
1. Faktor sumbatan
Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing, dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.
2. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya fekolit dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi dapat memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur yang banyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchius, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob lebih dari 10%.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolit dan menyebabkan obstruksi lumen.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah mengubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya mengonsumsi tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, kini memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi.
Etiologi dilakukannya tindakan pembedahan pada penderita apendiksitis dikarenakan apendik mengalami peradangan. Apendiks yang meradang dapat menyebabkan infeksi dan perforasi apabila tidak dilakukan tindakan pembedahan. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askariasis dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E.histolytica (Elma, 2019).
C. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folokel limfoid, fekalit, benda asing, striktutur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. (Fransisca, 2019)
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuraktif akut. (Fransisca, 2019)
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gengren. Stadium disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang di sebut infiltrat apendikularis. Oleh karena itu tindakan yang paling tepat adalah apendiktomi, jika tidak dilakukan tindakan segera mungkin maka peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. (Fransisca, 2019).
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat kemungkinan oleh fekolit (massa keras dari faeces) atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam terlokalisasi dalam kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang terinflamasi berisi pus. (Fransisca, 2019).
D. Manifestasi klinik
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat, Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.(Hidayat, 2020)
E. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendisitis.Adapun jenis komplikasi menurut (Khusna, 2019) adalah :
1. Abses
Abses merupakan peradangan apendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mulamula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi apabila appendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum. Operasi appendektomi untuk kondisi abses apendiks dapat dilakukan secara dini (appendektomi dini) maupun tertunda (appendektomi interval). Appendektomi dini merupakan appendektomi yang dilakukan segera atau beberapa hari setelah kedatangan klien di rumah sakit. Sedangkan appendektomi interval merupakan appendektomi yang dilakukan setelah terapi konservatif awal, berupa pemberian antibiotika intravena selama beberapa minggu.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 2 jam.Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5° C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama Polymorphonuclear (PMN). Perforasi baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan terjadinya peritonitis.
Perforasi memerlukan pertolongan medis segera untuk membatasi pergerakan lebih lanjut atau kebocoran dari isi lambung ke rongga perut. Mengatasi peritonitis dapat dilakukan oprasi untuk memperbaiki perforasi, mengatasi sumber infeksi, atau dalam beberapa kasus mengangkat bagian dari organ yang terpengaruh .
3. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum dapat menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis. Penderita peritonitis akan disarankan untuk menjalani rawat inap di rumah sakit. Beberapa penanganan bagi penderita peritonitis adalah :
a. Pemberian obat-obatan. Penderita akan diberikan antibiotik suntik atau obat antijamur bila dicurigai penyebabnya adalah infeksi jamur, untuk mengobati serta mencegah infeksi menyebar ke seluruh tubuh. Jangka waktu pengobatan akan disesuaikan dengan tingkat keparahan yang dialami klien.
b. Pembedahan. Tindakan pembedahan dilakukan untuk membuang jaringan yang terinfeksi atau menutup robekan yang terjadi pada organ dalam.
F. Tes Diagnostik
Penatalaksanaan Medis menurut Luthfiana (2019) yaitu:
1. Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan appendicitis akut. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara12.000 - 18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrophil (shifttotheleft) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis.
2. Pemeriksaan Urinalisis
Membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi didekat ureter.
3. Ultrasonografi Abdomen(USG)
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%.
Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter anteroposterior 7mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix. False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negative juga dapat muncul karena letak appendix yang retro caecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi appendiks.
4. CT Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas. Sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik. Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari 5-7mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil.
G. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan post operasi apendiktomi dibagi menjadi tiga (Oktaviani, 2019), yaitu:
1. Sebelum operasi
a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah munculnya keluhan perlu diobservasi ketat karena tanda dan gejala apendisitis belum jelas. Pasien diminta tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis. Diagnosis ditegakkan dengan lokasi nyeri pada kuadran kanan bawah setelah timbulnya keluhan.
b. Antibiotik
Apendisitis ganggrenosa atau apenditis perforasi memerlukan antibiotik, kecuali apendiksitis tanpa komplikasi tidak memerlukan antibiotik. Penundaan tindakan bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau preforasi.
2. Operasi
Operasi/pembedahan untuk mengangkat apendiks yaitu apendiktomi. Apendiktomi harus segera dilakukan untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum dengan pembedahan abdomen bawah atau dengan laparoskopi. Laparoskopi merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Apendiktomi dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode pembedahan, yaitu secara teknik terbuka (pembedahan konvensional laparatomi) atau dengan teknik laparoskopi yang merupakan teknik pembedahan minimal invasive dengan metode terbaru yang sangat efektif (Luthfiana, 2019).
a. Laparatomi
Laparatomi adalah prosedur vertical pada dinding perut ke dalam rongga perut. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan merasakan organ dalam untuk membuat diagnose apa yang salah. Adanya teknik diagnosa yang tidak invasif, laparatomi semakin kurang digunakan dibanding terdahulu. Prosedur ini hanya dilakukan jika semua prosedur lainnya yang tidak membutuhkan operasi, seperti laparoskopi yang seminimal mungkin tingkat invasifnya juga membuat laparatomi tidak sesering terdahulu. Bila laparatomi dilakukan, begitu organ-organ dalam dapat dilihat dalam masalah teridentifikasi, pengobatan bedah harus segera dilakukan.
Laparatomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut. Operasi laparatomi dilakukan bila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen, misalnya trauma abdomen. Bila klien mengeluh nyeri hebat dan gejala-gejala lain dari masalah internal yang serius dan kemungkinan penyebabnya tidak terlihat seperti usus buntu, tukak peptikyang berlubang, atau kondisi ginekologi maka dilakukan operasi untuk menemukan dan mengoreksinya sebelum terjadi keparahan lebih. Laparatomi dapat berkembang menjadi pembedahan besar diikuti oleh transfusi darah dan perawatan intensif.
b. Laparoskopi
Laparaskopi berasal dari kata lapara yaitu bagian dari tubuh mulai dari iga paling bawah samapi dengan panggul. Teknologi laparoskopi ini bisa digunakan untuk melakukan pengobatan dan juga mengetahui penyakit yang belum diketahui diagnosanya dengan jelas. Keuntungan bedah laparoskopi:
1) Pada laparoskopi, penglihatan diperbesar 20 kali, memudahkan dokter dalam pembedahan.
2) Secara estetika bekas luka berbeda dibanding dengan luka operasi pasca bedah konvensional. Luka bedah laparoskopi berukuran 3 sampai 10 mm akan hilang kecuali klien mempunyai riwayat keloid.
3) Rasa nyeri setelah pembedahan minimal sehingga penggunaan obat-obatan dapat diminimalkan, masa pulih setelah pembedahan lebih cepat sehingga klien dapat beraktivitas normal lebih cepat.
3. Setelah operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam, hipertermia, syok atau gangguan pernafasan. Baringkan klien dalam posisi semi fowler. Klien dikatakan baik apabila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama itu klien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal. Satu hari setelah dilakukan operasi klien dianjurkan duduk tegak di temmpat tidur selama 2 x 30 menit. Hari kedua dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar. Hari ke tujuh dapat diangkat dan dibolehkan pulang (Elma, 2019).
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan, menurut (Dermawan, 2021). Berdasarkan dari hasil pengkajian pada klien dengan diagnosa Apendiksitis akut, klien mengatakan nyeri pada abdomen kanan bawah. Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing. Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. Tujuan dari pengkajian adalah didapatkan data yang mencakup bio, psiko, dan spiritual.
1. Biodata
2. Penanggung jawab
3. Keluhan utama
4. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
b. Riwayat kesehatan lalu
c. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat psikososial
6. Riwayat spiritual
7. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum klien
b. Tanda-tanda vital
c. Sistem pernapasan
d. Sistem kardiovaskular
e. Sistem pencernaan
f. Sistem indera
g. Sistem saraf
h. Sistem musculoskeletal
i. Sistem integument
j. Sistem endokrin
k. Sistem reproduksi
l. Sistem immune
Menurut americaners association (ana), mengenai standar pengkajian, dinyatakan bahwa data harus:
1. Relevan dengan kebutuhan pasien
2. Pengumpulan data dari berbagai sumber
3. Pengumpulan data dati berbagai teknik
4. Pengumpulan data secara sistematis
5. Pendokumentasian menggunakan format
Tahap pengkajian dari proses keperawatan merupakan proses dinamis yang terorgaisasi, dan meliputi empat aktivitas dasar atau elemen dari pengkajian yaitu pengupulan data secara sistematis, memvalidasi data, memilah, dan mengatur data dan mendokumentasikan data dalam format.
B. Diagnosis Keperawatan
Masalah keperawatan atau diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (Tim pokja SDKI DPP, 2017).Berdasarkan hal tersebut peneliti dalam kasus asuhan keperawatan pada klien dengan Appendisitis menegakkan masalah keperawatan berdasarkan dari pengkajian yang didapatkan. Menurut (Mahendra, 2021). Ada beberapa diagnosis keperawatan yaitu :
1. Nyeri akut (D.0077)
Definisi:
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
Penyebab:
1. Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, neoplasma)
2. Agen pencedera kimiawi (mis, terbakar, bahan kimia iritan)
3. Agen pencedera fisik (mis, abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma latihan fisik berlebihan)
Gejala dan tanda mayor:
Subjektif:
1. Mengeluh nyeri
Objektif:
1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghindari nyeri)
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
Gejala dan tanda minor
Subjektif:
1. (tidak tersedia)
Objektif:
1. Tekanan darah meningkat
2. Pola nafas berubah
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berfikit terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaphoresis
2. Gangguan integritas kulit/jaringan (D.0129)
Definisi:
Kerusakan kulit (dermis dan/atau epidermis) atau jaringan (membrane mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi, dan/atau ligament)
Penyebab:
1. Perubahan sirkulasi
2. Perubahan status nutrisi (kelebihan atau kekurangan)
3. Kekurangan/kelebihan volume cairan
4. Penurunan mobilitas
5. Bahan kimia iritatif
6. Suhu lingkungan yang ekstrem
7. Faktor mekanis (mis. Penekanan pada tonjolan tulang, gesekan) atau faktor elektris (elektrodiatermi, energy listrik bertegangan tinggi )
8. Efek samping terapi radiasi
9. Kelembaban
10. Proses penuaan
11. Neuropati perifer
12. Perubahan pigmentasi
13. Perubahan hormonal
14. Kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahankan/ melindungi integritas jaringan
Gejala dan Tanda Mayor:
Subjektif:
(tidak tersedia)
Objektif:
1. Kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit
Gejala dan Tanda Minor:
Subjektif:
(Tidak tersedia)
Objektif:
1. Nyeri
2. Pendarahan
3. Kemerahan
4. Hematoma
3. Ansietas (D.0080)
Definisi:
Kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan individu melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman.
Penyebab:
1. Krisis situasional
2. Kebutuhan tidak terpenuhi
3. Krisis maturasional
4. Ancaman terhadap konsep diri
5. Ancaman terhadap kematian
6. Kekhawatiran mengalami kegagalan
7. Disfungsi sistem keluarga
8. Hubungan orang tua-anak tidak memuaskan
9. Faktor keturunan (temperamen mudah teragitasi sejak lahir)
10. Penyalahgunaan zat
11. Terpapar bahaya lingkungan (mis. toksin, polutan, dan lain-lain)
12. Kurang terpapar informasi
Gejala dan tanda mayor
Subjektif:
1. Merasa bingung
2. Merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi
3. Sulit berkontrasi
Objektif:
1. Tampak gelisah
2. Tampak tegang
3. Sulit tidur
Gejala dan tanda minor
Subjektif:
1. Mengeluh pusing
2. Anoreksia
3. Palpitasi
4. Merasa tidak berdaya
Objektif:
1. Frekuensi napas meningkat
2. Frekuensi nadi meningkat
3. Tekanan darah meningkat
4. Diaforsis
5. Tremor
6. Muka tampak pucat
7. Suara bergetar
8. Kontak mata buruk
9. Sering berkemih
10. Berorientasi pada masa lalu
4. Resiko infeksi (D.0142)
Definisi:
Berisiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik
Faktor risiko:
1. Penyakit kronis (mis. diabetes mellitus)
2. Efek prosedur invasive
3. Malnutrisi
4. Peningkatan paparan organisme pathogen lingkungan
5. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer:
1) Gangguan peristaltic
2) Kerusakan integritas kulit
3) Perubahan sekresi Ph
4) Penurunan kerja siliaris
5) Ketuban pecah lama
6) Ketuban pecah sebelum waktunya
7) Merokok
8) Statis cairan tubuh
6. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder:
1) Penurunan haemoglobin
2) Imununosupresi
3) Leukopenia
4) Supresi respon inflamasi
5) Vaksinasi tidak adekuat
5. Gangguan mobilitas fisik (D.0054)
Definisi:
Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri.
Penyebab:
1. Kerusakan integritas struktur tulang
2. Perubahan metabolisme
3. Ketidakbugaran fisik
4. Penurunan kendali otot
5. Penurunan massa otot
6. Penurunan kekuatan otot
7. Keterlambatan pengembangan
8. Kekakuan sendi
9. Kontraktur
10. Malnutrisi
11. Gangguan musculoskeletal
12. Gangguan neuromuscular
13. Indeks massa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia
14. Efek agen farmakologis
15. Program pembatasan gerak
16. Nyeri
17. Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik
18. Kecemasan
19. Gangguan kognitif
20. Keengganan melakukan pergerakan
21. Gangguan sensoripersepsi
Gejala dan Tanda Mayor:
Subjektif:
1. mengeluh sulit menggerakan ekstremitas
Objektif:
1. Kekuatan otot menurun
2. Rentang gerak (ROM) menurun
Gejala dan Tanda Minor:
Subjektif:
1. Nyeri saat bergerak
2. Enggan melakukan pergerakan
3. Merasa cemas saat bergerak
Objektif:
1. Sendi kaku
2. Gerakan tidak terkoordinasi
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah
6. Risiko cedera (D.0136)
Definisi:
Berisiko mengalami bahaya atau kerusakan fisik yang menyebabkan seseorang tidak lagi sepenuhnya sehat atau dalam komdisi baik.
Faktor risiko:
Eksternal:
1. Terpapar pathogen
2. Terpapar zat kimia toksik
3. Terpapar agen nosocomial
4. Ketidakamanan transportasi
Internal:
1. Ketidaknormalan profil darah
2. Perubahan orientasi afektif
3. Perubahan sensasi
4. Disfungsi autoimun
5. Disfungsi biokimia
6. Hipoksia jaringan
7. Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh
8. Malnutrisi
9. Perubahan fungsi psikomotor
10. Perubahan fungsi kognitif
7. Risiko pendarahan (D.0012)
Definisi:
Berisiko mengalami kehilangan darah baik internal (terjadi di dalam tubuh) maupun eksternal (terjadi hingga keluar tubuh).
Faktor risiko:
1. Aneurisma
2. Gangguan gastrointestinal (mis. ulkus lambung, polip, varises)
3. Gangguan fungsi hati (mis. sirosis hepatitis)
4. Komplikasi kehamilan (mis. ketuban pecah sebelum waktunya, plasenta previa/abrupsio, kehamilan kembar)
5. Komplikasi pasca partum (mis. atoni uterus, retensi plasenta)
6. Gangguan koagulasi (mis. trombositopenia)
7. Efek agen farmakologis
8. Tindakan pembedahan
9. Trauma
10. Kurang terpapar informasi tentang pencegahan pendarahan
11. Proses keganasan
C. Intervensi Keperawatan
Pre Operasi
NO |
Diagnosa Keperawatan |
Tujuan |
Intervensi |
1 |
Nyeri akut |
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1 x 8 jam diharapkan tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil: 1. Keluhan nyeri menurun 2. Meringis menurun 3. Sikap protektif menurun 4. Gelisah menurun 5. Kesulitan tidur menurun 6. Tekanan darah membaik 7. Pola tidur membaik
|
Manajemen Nyeri Observasi 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri 2. Identifikasi skala nyeri 3. Identifikasi respon nyeri non verbal 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap repson nyeri 7. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan 9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik 1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis : TENS, hypnosis, akupresure, terapi music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat atau dingin, terapi bermain) 2. Kontrol lingkungn yang memperberat rasa nyeri (mis : suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan) 3. Fasilitasi istirahat dan tidur 4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemeliharaan strategi meredakan nyeri Edukasi 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri 3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri 4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat 5. Ajarkan teknik nonfarmakaologis untuk mengurangi rasa nyeri Kolaborasi 1. Memberikan analgetik jika perlu |
2 |
Ansietas |
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x8 jam diharapkan tingkat ansietas menurun kriteria hasil: 1. Verbalisasi kebingungan menurun 2. Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun 3. Perilaku gelisah menurun 4. Perilaku tegang menurun 5. Konsentrasi membaik 6. Pola tidur membaik
|
Reduksi Ansietas Observasi 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis: kondisi, waktu, stresor) 2. Identifikasi kemampuan mengambil keputusan 3. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal) Terapeutik 1. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan 2. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan 3. Pahami situasi yang membuat ansietas 4. Dengarkan dengan penuh perhatian 5. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan 6. Tempatkan barang pribadi yang memberikan kenyamanan 7. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan 8. Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan datang Edukasi 1. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami 2. Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan, dan prognosis 3. Anjurkan keluarga untuk tetap Bersama pasien, jika perlu 4. Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai kebutuhan 5. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi 6. Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan 7. Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat 8. Latih Teknik relaksasi Kolaborasi
|
Post Operasi
No |
Diagnosa Keperawatan |
Tujuan |
Intervensi |
1 |
Risiko infeksi
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 8 jam diharapkan tingkat infeksi menurun dengan kriteria hasil : 1. Kebersihan tangan meningkat 2. Kebersihan badan meningkat 3. Nafsu makan meningkat 4. Demam menurun 5. Kemerahan menurun 6. Nyeri menurun 7. Bengkak menurun 8. Vesikal menurun 9. Cairan berbau busuk menurun 10. Sputum berwarna hijau menurun 11. Drainase purulen menurun 12. Piuria menurun 13. Periode menurun 14. Periode menggigil menurun 15. Letargi menurun 16. Gangguan kognitif menurun 17. Kadar sel darah putih membaik 18. Kultur darah membaik 19. Kultur urine membaik 20. Kultur sputum membaik 21. Kultur area luka membaik Kultur feses membaik |
Pencegahan Infeksi Observasi 1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik Terapeutik 1. Batasi jumlah pengunjung 2. Berikan perawatan kulit pada area edema 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien 4. Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi Edukasi 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi 2. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar 3. Ajarkan etika batuk 4. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi 5. Anjurkan meingkatkan asupan nutrisi 6. Anjurkan meningkatkan asupan cairan Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika pelu |
2 |
Gangguan mobilitas fisik |
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan mobilitas fisik meningkat dengan kriteria hasil: 1. Pergerakan ekstremitas meningkat 2. Kekuatan otot meningkat 3. Rentang gerak (ROM) meningkat 4. Nyeri menurun 5. Kecemasan menurun 6. Gerakan terbatas menurun 7. Kelemahan fisik menurun |
Dukungan Ambulasi Observasi 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai ambulasi 4. Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi Terapeutik 1. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis, tongkat, kruk) 2. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu 3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan ambulasi Edukasi 1. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi 2. Anjurkan melakukan ambulasi dini Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis, berjalan dari tempat tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai toleransi) |
3 |
Gangguan integritas kulit/jaringan |
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 12 jam maka diharapkan tingkat integritas kulit/jaringan meningkat dengan kriteria hasil : 1. Tidak ada luka atau lesi 2. Menunjukkan proses penyembuhan luka 3. Integritas kulit yang bisa dipertahankan 4. Drainase purulent menurun 5. Periode menggigil menurun 6. Letargi menurun 7. Gangguan kognitif menurun 8. Kadar sel putih membaik 9. Kultur urin membaik 10. Kultur sputum membaik 11. Kultur area luka membaik 12. Kultur feses membaik 13. Nafsu makan membaik |
Perawatan luka Observasi 1. Monitor karakteristik luka (mis. Drainase, warna, ukuran, bau) 2. Monitor tanda-tanda infeksi Terapeutik 1. Lepaskan balutan dan plester secara perlahan 2. Cukur rambut disekitar daerah luka, jika perlu 3. Bersihkan dengan cairan nacl atau pembersih nontoksik, sesuai kebutuhan 4. Bersihkan jaringan nekrotik 5. Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika perlu 6. Pasang balutan sesuai jenis luka 7. Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka 8. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase 9. Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi pasien 10. Berikan diet dengan kalori 30-35 kkal/ KgBB/ hari dan protein 1,25-1,5 g/kgBB/hari 11. Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis. Vitamin A, vitamin C. zinc, asam amino), sesuai indikasi 12. Berikan terapi TENS (stimulus saraf transcutaneous), jika perlu Edukasi 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi 2. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein 3. Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri Kolaborasi 1. Kolaborasi prosedur debridement (mis. Enzimatik, biologis, mekanis, autolitik), jika perlu 2. Kolaborasi pemberian antibiotic, jika perlu |
4 |
Risiko cedera |
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan tingkat cedera menurun dengan kriteria hasil: 1. Toleransi aktivitas meningkat 2. Toleransi makanan meningkat 3. Kejadian cedera luka/lecet menurun 4. Ketegangan otot menurun 5. Fraktur menurun 6. Pendarahan menurun 7. Ekspresi wajah kesakitan menurun 8. Agitasi menurun 9. Iritabilitas menurun 10. Gangguan mobilitas menurun 11. Gangguan kognitif menurun 12. Tekanan darah membaik 13. Frekuensi nadi membaik 14. Frekuensi napas membaik 15. Pola istirahat/tidur membaik 16. Nafsu makan membaik |
Manajemen keselamatan lingkungan Observasi 1. Identifikasi kebutuhan keselamatan (mis. kondisi fisik, fungsi kognitif dan riwayat perilaku) 2. Monitor perubahan status keselamatan lingkungan Terapeutik 1. Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan (mis. fisik, biologi, dan kimia), jika memungkinkan 2. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan risiko 3. Sediakan alat bantu keamanan lingkungan (mis. commode chair dan pegangan tangan) 4. Gunakan perangkat pelindung (mis. pengekangan fisik, rel samping, pintu terkunci, pagar) 5. Hubungi pihak berwenang sesuai masalah komunitas (mis. puskesmas, polisi, damkar) 6. Fasilitasi relokasi ke lingkungan yang aman 7. Lakukan program skrining bahaya lingkungan (mis. timbal) Edukasi 1. Ajarkan individu, keluarga dan kelompok risiko tinggi bahaya lingkungan. |
5 |
Risiko pendarahan |
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan tingkat pendarahan menurun dengan kriteria hasil: 1. Membrane mukosa lembap mningkat 2. Kelembapan kulit meningkat 3. Kognitif meningkat 4. Hemoptysis menurun 5. Hematemesis menurun 6. Pendarahan anus menurun 7. Distensi abdomen menurun 8. Pendarahan vagina menurun 9. Pendarahan pasca operasi menurun 10. Hemoglobin membaik 11. Hematocrit membaik 12. Tekanan darah membaik 13. Frekuensi nadi membaik 14. Suhu tubuh membaik |
Pencegahan pendarahan Observasi 1. Monitor tanda dan gejala pendarahan 2. Monitor nilai hematocrit/ hemoglobin sebelum dan setelah kehilangan darah 3. Monitor tanda-tanda vital ortostatik 4. Monitor koagulasi (mis. prothrombin time (PT), partialthromboplastin time (PTT), fibrinogen, degradasi fibrin dan/atau platelet) Terapeutik 1. Pertahankan bed rest selama pendarahan 2. Batasi tindakan invasive, jika perlu 3. Gunakan kasur pencegah decubitus 4. Hindari pengukuran suhu rektal Edukasi 1. Jelaskan tanda dan gejala pendarahan 2. Anjurkan menggunakan kaos kaki saat ambulasi 3. Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk menghindari konstipasi 4. Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan 5. Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K 6. Anjurkan segara melapor jika terjadi pendarahan Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian obat pengontrol pendarahan, jika perlu 2. Kolaborasi pemberian produk darah, jika perlu 3. Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu |
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap implementasi adalah komunikasi yang efektif, kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling membantu, kemampuan melakukan teknik psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistematis, kamampuan memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi, dan kemampuan evaluasi (Mahendra, 2021).
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan kegiatan yang membandingkan antara hasil, implementasi dengan kriteria dan standar telah ditetapkan untuk melihat keberhasilan bila hasil dan evaluasi tidak berhasil sebagian perlu disusun rencana keperawatan yang baru (Mahendra, 2021)
Metode evaluasi keperawatan, antara lain:
1. Evaluasi Formatif (Proses) Evaluasi yang dilakukan selama proses asuhan keperawatan dan bertujuan untuk menilai hasil implementasi secara bertahap sesuai dengan kegiatan yang dilakukan , sistem penulisan evaluasi formatif ini ditulis dalam catatan kemajuan atau menggunakan sistem SOAP.
2. Evaluasi Sumatif (Hasil) Evaluasi akhir yang bertujuan untuk menilai secara keseluruhan, sistem penulisan evaluasi sumatif ini dalam banyak catatan naratif atau laporan ringkasan.
DAFTAR PUSTAKA
Asnawi. (2019). Asuhan keperawatan post operasi apendiktomi pada ny. P di ruang mawar blud rumah sakit konawe selatan tahun 2019 karya tulis ilmiah. Diakses pada 3 Maret 2021, dari epository.poltekkes-kdi.ac.id: http://repository.poltekkes-kdi.ac.id/523/1/KTI%20ASNAWI.pdf
Elma, RA. (2019). Bab ii tinjauan pustaka. Diakses pada 3 Maret 2021, dari eprints.poltekkesjogja.ac.id:http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1410/4/BAB%20II.pdf
Fransisca, Cathleya, dkk. (2019). Karakteristik pasien dengan gambaran histopatologi apendisitis di rsup sanglah denpasar tahun 2015 - 2017. Jurnal medika udayana, vol. 8 no.7 juli 2019. Diakses pada 3 Maret 2021, dari ojs.unud.ac.id:https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/cite/51783/ApaCitationPlugin
Hidayat, Erwin. (2020). Karya tulis ilmiah asuhan keperawatan pada klien dengan appendicitis yang di rawat di rumah sakit. Diakses pada 3 maret 2021, dari repository.poltekkeskaltim.ac.id:Http://repository.poltekkeskaltim.ac.id/1053/1/kti%20erwin%20hidayat.pdf
Khusna , Asmaul. ( 2019). Laporan pendahuluan apendisitis. diakses pada 3 maret 2021, dari academia.edu:https://www.academia.edu/43272082/laporan_pendahuluan_apendisitis
Luthfiana, R. (2019). Bab ii tinjauan pustaka. Diakses pada 3 Maret 2021, dari eprints.poltekkesjogja.ac.id:http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1368/4/4.%20BAB%20II.pdf
Mahendra, D. M. (2021). Asuhan keperawatan pada pasien post operatif appendisitis di Rsud Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2021. 26(2), 173–180
Oktaviani, Srirahayu. (2019). Karya tulis ilmiah laporan studi kasus asuhan keperawatan pada klien ny.r dengan post operasi laparatomi atas indikasi apendisitis diruangan rawat inap bendah lantai 2 ambun suri rsud dr.achmad mochtar bukitinggi. Diakses pada 3 Maret 2021, dari repo.stikesperintis.ac.id: http://repo.stikesperintis.ac.id/148/1/26%20SRI%20RAHAYU%20OKTAVIANI.pdf
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar diagnosis keperawatan indonesia: definisi dan indikator diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar intervensi keperawatan indoneisa: definisi dan tindakan keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar luaran keperawatan indonesia: definisi dan kriteria hasil keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar